Senyum adalah sunnah Sederhana .. Sistem Penerangan Wajah .. Sistem Pendinginan Kepala .. Sistem Pemanasan Hati .. Sistem Sparkling dari Mata .. Sistem Relaxing Pikiran .. Dan Shadaqah yang paling mudah ... Jadi Semoga Allah selalu menjaga u bahagia dan tersenyum.”

Rabu, 09 November 2011

Tersenyumlah pada kehidupanmu

Tersenyumlah pada kehidupanmu
Alangkah indahnya senyuman ketika keluar dari hati sehingga menyinari wajah dan menjadikannya seperti matahari di pertengahan siang. Sesungguhnya senyuman adalah balsem kegelisahan dan kesedihan. Senyuman adalah kebaikan-kebaikan yang diletakkan di timbangan seorang hamba tanpa kekurangan.
Nabi Saw juga tersenyum, bahkan kadang-kadang tertawa sehingga terlihat jelas gigi-gigi taringnya. Abu Darda’ RA berkata, “Sesungguhnya saya tertawa sampai hatiku merasa terhibur.”

Nabi Saw bersabda,
تَبَسُّمُكَ فِي وَجْهِ أَخِيكَ لَكَ صَدَقَةٌ
“Senyummu di hadapan saudaramu adalah sedekahmu.” (HR. At-Tirmidzi)
Senyuman itu akan memberikan manfaat kepada pelakunya sebelum dinikmati orang lain. Senyuman akan mencerahkan wajah, melancarkan aliran darah dan memperlihatkan ketajaman kedua matanya. Senyuman itu menjadi latihan untuk otot-otot wajah.
Sesungguhnya senyuman itu mengalir di dalam jiwa sehingga menyebarkan ketenangan, kebahagiaan dan kegembiraan. Senyuman mampu menghilangkan kedengkian, memberantas permusuhan dan kebencian, bahkan kedudukannya seperti hadiah yang diberikan oleh orang yang tersenyum kepada orang lain. Oleh karena itu, wahai saudaraku, janganlah Anda menghalangi diri sendiri dari keutamaan senyum sehingga Anda akan bahagia dan membahagiakan orang lain.
Kita mengetahui bahwa Islam itu adalah agama pertengahan dan moderat dalam segala sesuatu, maka janganlah seorang muslim menampilkan kehidupan yang muram dan menakutkan. Jangan pula selalu tertawa tanpa henti. Akan tetapi, dirinya harus berada di pertengahan di antara ini dan itu, tanpa berlebih-lebihan dan ekstrem.
Ahmad Amin berkata dalam Faidh Al-Khâthir, “Orang-orang yang tersenyum menghadapi kehidupan tidak hanya menjadi manusia paling bahagia bagi dirinya sendiri. Akan tetapi, mereka juga lebih mampu untuk bekerja, lebih kuat memikul tanggung jawab, lebih tegar menghadapi berbagai musibah dan mengatasi berbagai kesulitan, serta lebih mampu melaksanakan perkara-perkara besar yang memberikan manfaat bagi diri mereka sendiri dan orang lain.”
Tak ada alasan untuk selalu tenggelam dalam kesedihan, dan meratapi kehidupan. Tersenyumlah! Wallahu A’lam
share by :http://ashid92.wordpress.com/renungan-inspiratif

**BAGAIMANA CARAMU MENCINTAI ISTRI KETIKA ENGKAU MENCINTAI ALLAH DIATAS SEGALANYA**

**BAGAIMANA CARAMU MENCINTAI ISTRI KETIKA ENGKAU MENCINTAI ALLAH DIATAS SEGALANYA**
Bismillahirrahmaanirrahiim..
Ingatkah kita kisah yang diriwayatkan oleh Aisyah Ra. ketika melalui malam dengan Rasulullah SAW, bersisian, bersentuhan, “…kulitku dengan kulitnya..” istilah Aisyah. Lantas kemudian Rasulullah hendak melakukan qiyamullail?
Sungguh mulia apa yang dicontohkan Rasulullah dalam hadits tersebut, betapa beliau mengajarkan kita untuk mencintai Allah diatas segalanya dengan cara yang indah, tanpa harus mengecilkan (membuat terasa kecil) kecintaan kepada istri yang notabene harus menjadi yang paling dicintai setelah Allah dan RasulNya.
“…Yaa Aisyah, bolehkah aku menyembah Tuhanku…?”
kira-kira beginilah ucapan Rasulullah meminta izin kepada Aisyah untuk qiyamullail disaat mereka berdua tengah menikmati kebersamaan. Padahal sebenarnya Rasulullah tidak perlu meminta izin sedemikian rupa dengan menanyakan kepada istrinya apakah dia boleh meninggalkan istrinya sejenak untuk sholat malam. Bukankah Cinta Kepada Allah harus diatas cinta kepada istri?
Tapi, lihat betapa indahnya Rasulullah bersikap kepada istrinya. Lihatlah betapa Rasulullah menunjukkan kecintaannya kepada Rabbnya lebih tinggi dari kecintaannya kepada istrinya dengan TANPA harus menyakiti perasaan istrinya sedikitpun. Dengan tanpa membuat istrinya kecewa sedikitpun.
Padahal, bilapun Rasulullah tidak membahasakannya dengan cara meminta izin kepada Aisyah, misalnya dengan langsung bangkit untuk sholat tanpa berkata apapun kepada istrinya terlebih dahulu, mungkin Aisyah tidak akan keberatan atau kecewa meski saat itu mereka tengah merasa nyaman dengan kebersamaan yang begitu erat.
“…wahai suamiku, sesungguhnya aku suka berdekatan denganmu, tapi aku juga suka melihatmu menyembah Tuhanmu…” begitulah kira-kira jawaban Aisyah, dengan penuh keridhoan dan tanpa menyiratkan kekecewaan sedikitpun ketika suaminya ingin mendahulukan kecintaannya kepada Allah (dalam hal ini qiyamullail) ketimbang kecintaan kepadanya. Inilah manajemen cinta yang seharusnya).
_______________________________________
Apakah yang bisa kita pelajari dari hadits ini?
Bila engkau adalah kepala keluarga, tidak bisakah engkau mencari jalan keluar yang lebih indah untuk dapat mendahulukan kecintaanmu kepada Allah dengan cara yang sama sekali menghindari akibat-akibat tersakitinya perasaan istrimu, atau timbulnya kekecewaan dalam hatinya, walau pada dasarnya dia ridho bila engkau mendahulukan kecintaan kepada Tuhanmu?
Ketika engkau ingin menyantuni anak yatim misalnya, atau menyantuni salah satu dari saudaram-saudaramu.
__________________________________
Bila dia adalah istrimu, insyaAllah dia akan sangat senang ketika engkau ingin menyantuni anak yatim. Karena dia mengerti itu adalah bukti kecintaanmu kepada Allah SWT.
Tapi kira-kira bagaimana JALAN yang akan engkau tempuh, atau CARA yang akan engkau gunakan agar dengannya engkau tidak perlu membuat dia merasa tidak ridho dengan CARA tersebut atau bahkan tersakiti perasaannya?
Haruskah engkau mengorbankan apa saja termasuk mengorbankan perasaan istrimu? Tidakkah engkau seharusnya mencintai dia lebih dari engkau mencintai orang lain? Bukankah Rasulullah mengajarkanmu bagaimana cara mencintai istrimu ketika engkau mencintai Allah diatas segalanya?
Haruskah engkau menunjukkan kepada istrimu bahwa (diluar konteks kecintaan kepada Allah) engkau lebih mencintai orang lain ketimbang istrimu?
Tidakkah kita tahu bahwa haram bagi seorang suami menyakiti istrinya secara fisik maupun secara psikologis?
_______________________________
Padahal Rasulullah mencontohkan cara yang begitu mulia ketika mendahulukan kecintaan kepada Allah ketimbang kepada istri.

Pilihlah!
Sekali lagi, pilihlah cara yang lebih ma’ruf dan lebih membuat istrimu ridho.
InsyaAllah dia tidak melarangmu untuk mendekat kepada Tuhanmu dengan menyantuni anak yatim. InsyaAllah dia sangat suka melihatmu mencintai keluargamu. Tapi dia tidak ingin engkau memilih cara yang tidak ahsan, tidak baik. Dan mungkin sikapmu telah membuatnya tersakiti. Mudah–mudahan dengannya engkau dan istrimu akan beroleh keridhoan Allah yang lebih sempurna. Allahumma Aamiin
Bila dia adalah istrimu, apakah yang akan engkau lakukan sekarang?
sumber :http://ashid92.wordpress.com/renungan-inspiratif

* Kamu makin cantik kalau kamu marah *

* Kamu makin cantik kalau kamu marah *
Buat yang udah nikah, yang mau nikah atau yang punya niat untuk nikah.
Bertengkar adalah phenomena yang sulit dihindari dalam kehidupan berumah tangga, kalau ada seseorang berkata: “Saya tidak pernah bertengkar dengan isteri saya!” Kemungkinannya dua, boleh jadi dia belum beristeri atau ia tengah berdusta.
Yang jelas kita perlu menikmati sa’at-sa’at bertengkar itu, sebagaimana lebih menikmati lagi sa’at sa’at tidak bertengkar.
Bertengkar itu sebenarnya sebuah keadaan diskusi, hanya saja dihantarkan dalam muatan emosi tingkat
tinggi. Kalau tahu etikanya, dalam bertengkarpun kita bisa mereguk hikmah,betapa tidak, justru dalam
pertengkaran, setiap kata yang terucap mengandung muatan perasaan yang sangat dalam, yang mencuat dengan desakan energi yang tinggi, pesan pesannya terasa kental,lebih mudah dicerna ketimbang basa basi tanpa emosi.
Salah satu diantaranya adalah tentang apa yang harus dilakukan kala kita bertengkar, dari beberapa
perbincangan hingga waktu yang mematangkannya, tibalah kami pada sebuah Memorandum of
Understanding, bahwa kalau pun harus bertengkar, maka :
1. Kalau bertengkar tidak boleh berjama’ah.
Cukup seorang saja yang marah marah, yang terlambat mengirim sinyal nada tinggi harus menunggu
sampai yang satu reda. Untuk urusan marah pantang berjama’ah, seorangpun sudah cukup membuat
rumah jadi meriah. Ketika ia marah dan saya mau menyela, segera ia berkata “STOP” ini giliran saya! Saya harus diam sambil istighfar. Sambil menahan senyum saya berkata dalam hati :
“Kamu makin cantik kalau marah, makin energik…” Dan dengan diam itupun saya merasa telah beramal
sholeh, telah menjadi jalan bagi tersalurkannya luapan perasaan hati yang dikasihi… “Duh kekasih…
bicaralah terus, kalau dengan itu hatimu menjadi lega, maka dipadang kelegaan perasaanmu itu aku
menunggu ….”
Demikian juga kalau pas kena giliran saya “yang olah raga otot muka,” saya menganggap bahwa distorsi
hati, nanah dari jiwa yang tersinggung adalah sampah, ia harus segera dibuang agar tak menebar kuman, dan saya tidak berani marah sama siapa siapa kecuali pada isteri saya:) maka kini giliran dia yang harus bersedia jadi keranjang sampah.
Pokoknya khusus untuk marah, memang tidak harus berjama’ah, sebab ada sesuatu yang lebih baik untuk dilakukan secara berjama’ah selain marah ^_^
2. Marahlah untuk persoalan itu saja, jangan ungkit yang telah terlipat masa.
Siapapun kalau diungkit kesalahan masa lalunya, pasti terpojok, sebab masa silam adalah bagian dari
sejarah dirinya yang tidak bisa ia ubah. Siapapun tidak akan suka dinilai dengan masa lalunya. Sebab
harapan terbentang mulai hari ini hingga ke depan. Dalam bertengkar pun kita perlu menjaga
harapan,bukan menghancurkannya. Sebab pertengkaran di antara orang yang masih mempunyai harapan, hanyalah sebuah foreplay, sedang pertengkaran dua hati yang patah asa, menghancurkan peradaban cinta yang telah sedemikian mahal dibangunnya.
Kalau saya terlambat pulang dan ia marah, maka kemarahan atas keterlambatan itu sekeras apapun
kecamannya, adalah “ungkapan rindu yang keras”. Tapi bila itu dikaitkan dgn seluruh keterlambatan saya, minggu lalu, awal bulan kemarin dan dua bulan lalu, maka itu membuat saya terpuruk jatuh.
Bila teh yang disajinya tidak manis (saya termasuk penimbun gula), sepedas apapun saya marah, maka itu adalah “harapan ingin disayangi lebih tinggi”. Tapi kalau itu dihubungkan dgn kesalahannya kemarin dan tiga hari lewat, plus tuduhan “Sudah tidak suka lagi ya dengan saya”, maka saya telah menjepitnya dengan hari yang telah pergi, saya menguburnya di masa lalu, ups saya telah membunuhnya, membunuh cintanya. Padahal kalau cintanya mati, saya juga yang susah … OK, marahlah tapi untuk kesalahan semasa, saya tidak hidup di minggu lalu, dan ia pun milik hari ini …..
3. Kalau marah jangan bawa bawa keluarga!
Saya dengan isteri saya terikat baru beberapa masa, tapi saya dengan ibu dan bapak saya hampir berkali lipat lebih panjang dari itu, demikian juga ia dan kakak serta pamannya. Dan konsep Quran, seseorang itu tidak menanggung kesalahan fihak lain (QS.53:38-40).
Saya tidak akan terpancing marah bila cuma saya yang dimarahi, tapi kalau ibu saya diajak serta, jangan
coba-coba. Begitupun dia, semenjak saya menikahinya, saya telah belajar mengabaikan siapapun di dunia ini selain dia, karenanya mengapa harus bawa bawa barang lain ke kancah “awal cinta yang panas ini”. Kata ayah saya: “Teman seribu masih kurang, musuh satu terlalu banyak.”
Memarahi orang yang mencintai saya, lebih mudah dicari ma’afnya daripada ngambek pada yang tidak
mengenal hati dan diri saya..”. Dunia sudah diambang pertempuran, tidak usah ditambah tambah dengan
memusuhi mertua!

4. Kalau marah jangan di depan anak anak!
Anak kita adalah buah cinta kasih, bukan buah kemarahan dan kebencian. Dia tidak lahir lewat
pertengkaran kita, karena itu, mengapa mereka harus menonton komedi liar rumah kita.
Anak yang melihat orang tua nya bertengkar, bingung harus memihak siapa. Membela ayah, bagaimana
ibunya. Membela ibu, tapi itu ‘kan bapak saya.
Ketika anak mendengar ayah ibunya bertengkar (based on true story):
Ibu: “Saya ini cape, saya bersihkan rumah, saya masak, dan kamu datang main suruh begitu, emang saya ini babu?!!!”
Bapak: “Saya juga cape, kerja seharian, kamu minta ini dan itu dan aku harus mencari lebih banyak untuk
itu, saya datang hormatmu tak ada, emang saya ini kuda????!!!!
Anak: “Yaaa …ibu saya babu, bapak saya kuda …. terus saya ini apa?”
Kita harus berani berkata: “Hentikan pertengkaran!” ketika anak datang, lihat mata mereka, dalam
binarannya ada rindu dan kebersamaan. Pada tawanya ada jejak kerjasama kita yang romantis, haruskah ia mendengar kata basi hati kita???
5. Kalau marah jangan lebih dari satu waktu shalat!
Pada setiap tahiyyat kita berkata: “Assalaa-mu’alaynaa wa ‘alaa’ibaadilahissholiihiin” Ya Allah damai atas
kami, demikian juga atas hamba hambamu yang sholeh…. Nah andai setelah salam kita cemberut lagi,
setelah salam kita tatap isteri kita dengan amarah, maka kita telah mendustaiNya, padahal nyawamu
ditangan Nya.
OK, marahlah sepuasnya kala senja, tapi habis maghrib harus terbukti lho itu janji dengan Ilahi …..
Marahlah habis shubuh, tapi jangan lewat waktu dzuhur, Atau maghrib sebatas isya … Atau habis isya
sebatas….???
Nnngg……. Ah kayaknya kita sepakat kalau habis isya sebaiknya memang tidak bertengkar … ^_^
6. Kalau kita saling mencinta, kita harus saling mema’afkan
Hikmah yang ini saya dapat belakangan, ketika baca di koran (resensi sebuah film). Tapi yang jelas
memang begitu, selama ada cinta, bertengkar hanyalah “proses belajar untuk mencintai lebih intens”
Ternyata ada yang masih setia dengan kita walau telah kita maki-maki.
Ini saja, semoga bermanfa’at. “Dengan ucapan syahadat itu berarti kita menyatakan diri untuk bersedia
dibatasi”.
Dalam riwayat Abu Hurairah dikatakan “Orang yang kuat tidaklah yang kuat dalam bergulat, namun mereka yang bisa mengendalikan dirinya ketika marah” (H.R. Malik).
Wallahu A’lam……
♥ •.¸¸.•♥•.¸¸.•♥•.¸¸..•*´¨`*•……
sumber :http://ashid92.wordpress.com/renungan-inspiratif

*KARENA DIA MANUSIA BIASA*

*KARENA DIA MANUSIA BIASA*
Setiap kali ada teman yang mau menikah, saya selalu mengajukan pertanyaan yang sama. Kenapa kamu memilih dia sebagai suamimu/istrimu? Jawabannya sangat beragam. Dari mulai jawaban karena Allah hingga jawaban duniawi (cakep atau tajir, manusiawi lah). Tapi ada satu jawaban yang sangat berkesan di hati saya.
Hingga detik ini saya masih ingat setiap detail percakapannya. Jawaban salah seorang teman yang baru saja menikah. Proses menuju pernikahannya tentulah melalui ta’aruf, tanpa pacaran. Mereka hanya berkenalan 2 bulan. Lalu memutuskan menikah. Persiapan pernikahan hanya dilakukan dalam waktu sebulan saja. Kalau dia seorang akhwat (aktivis pengajian), saya tidak akan heran. Proses pernikahan seperti ini sudah lazim.
Dia bukanlah akhwat. Satu hal yang pasti, dia tipe wanita yang sangat berhati-hati dalam memilih suami. Trauma dikhianati lelaki membuat dirinya sulit untuk membuka diri. Ketika dia memberitahu akan menikah, saya tidak menanggapi dengan serius. Mereka berdua baru kenal sebulan. Tapi saya berdoa, semoga ucapannya menjadi kenyataan. Saya tidak ingin melihatnya menangis lagi.
Sebulan kemudian dia menemui saya. Dia menyebutkan tanggal pernikahannya. Serta memohon saya untuk cuti, agar bisa menemaninya selama proses pernikahan. Begitu banyak pertanyaan dikepala saya. Asli. Saya pengin tau, kenapa dia begitu mudahnya menerima lelaki itu.
Ada apakah gerangan? Tentu suatu hal yang istimewa. Hingga dia bisa memutuskan menikah secepat ini. Tapi sayang, saya sedang sibuk sekali waktu itu. Saya tidak bisa membantunya mempersiapkan pernikahan. Beberapa kali dia telfon saya untuk meminta pendapat tentang beberapa hal. Beberapa kali saya telfon dia untuk menanyakan perkembangan persiapan pernikahannya. That’s all. Kita tenggelam dalam kesibukan masing-masing.
Saya menggambil cuti sejak H-2 pernikahannya. Selama cuti itu saya memutuskan untuk menginap dirumahnya. Jam 11 malam, H-1 kita baru bisa ngobrol –hanya berdua- di taman rumahnya. Hiruk pikuk persiapan akad nikah besok pagi, sungguh membelenggu kita. Padahal rencananya kita ingin ngobrol tentang banyak hal. Akhirnya, bisa juga kita ngobrol berdua. Ada banyak hal yang ingin saya tanyakan. Dia juga ingin bercerita banyak pada saya.
“Aku gak bisa tidur”, Dia memandang saya dengan wajah memelas. Saya paham kondisinya saat ini. Kita melanjutkan ngobrol sambil berbisik-bisik. Kita berbicara banyak hal, tentang masa lalu dan impian-impian kita. Wajah sumringahnya terlihat jelas dalam keremangan lampu taman.
“Kenapa kamu memilih dia” Dia tersenyum simpul lalu bangkit dari duduknya sambil meraih HP disaku bajunya. Ia masuk dalam kamar berlahan dia membuka laci meja riasnya dan kembali ke taman lalu menyerahkan selembar amplop pada saya. Saya menerima HP dari tangannya. Amplop putih panjang dengan kop surat perusahaan tempat calon suaminya bekerja. Apaan sih. Saya memandangnya tak mengerti. Eeh, dianya malah ngikik geli.
“Buka aja” Sebuah kertas saya tarik keluar. Kertas polos ukuran A4, saya menebak warnanya pasti putih.. hehehe. Saya membaca satu kalimat di atas dideretan paling atas.
“Busyet dah nih orang” Saya menggeleng-gelengkan kepala sambil menahan senyum. Sementara dia cuma ngikik melihat ekspresi saya. Saya memulai membacanya. Dan sampai saat inipun saya masih hapal dengan kata-katanya. Begini isi surat itu.
Kepada Yth
Calon istri saya, calon ibu anak-anak saya, calon anak Ibu saya dan calon kakak buat adik-adik saya
Di tempat
Assalamu’alaikum Wr Wb
Mohon maaf kalau anda tidak berkenan. Tapi saya mohon bacalah surat ini hingga akhir. Baru kemudian silahkan dibuang atau dibakar, tapi saya mohon, bacalah dulu sampai selesai.
Saya, yang bernama …. menginginkan anda, untuk menjadi istri saya.
Saya bukan siapa-siapa. Saya hanya manusia biasa. Saat ini saya punya pekerjaan. Tapi saya tidak tahu apakah nanti saya akan tetap punya pekerjaan. Tapi yang pasti saya akan berusaha punya penghasilan untuk mencukupi kebutuhan istri dan anak-anak saya kelak.
Saya memang masih kontrak rumah. Dan saya tidak tahu apakah nanti akan ngontrak selamanya. Yang pasti, saya akan selalu berusaha agar istri dan anak-anak saya tidak kepanasan dan tidak kehujanan.
Saya hanyalah manusia biasa, yang punya banyak kelemahan dan beberapa kelebihan. Saya menginginkan anda untuk mendampingi saya. Untuk menutupi kelemahan saya dan mengendalikan kelebihan saya.
Saya hanya manusia biasa. Cinta saya juga biasa saja. Oleh karena itu, Saya menginginkan anda mau membantu saya memupuk dan merawat cinta ini, agar menjadi luar biasa. Saya tidak tahu apakah kita nanti dapat bersama-sama sampai mati. Karena saya tidak tahu suratan jodoh saya.
Yang pasti saya akan berusaha sekuat tenaga menjadi suami dan ayah yang baik.
Kenapa saya memilih anda? Sampai saat ini saya tidak tahu kenapa saya memilih anda. Saya sudah sholat istiqaroh berkali-kali, dan saya semakin mantap memilih anda.
Yang saya tahu, Saya memilih anda karena Allah. Dan yang pasti, saya menikah untuk menyempurnakan agama saya, juga sunnah Rasulullah. Saya tidak berani menjanjikan apa-apa, saya hanya berusaha sekuat mungkin menjadi lebih baik dari saat ini.
Saya mohon sholat istikhoroh dulu sebelum memberi jawaban pada saya. Saya kasih waktu minimal 1 minggu, maksimal 1 bulan. Semoga Allah ridho dengan jalan yang kita tempuh ini. Amin
Wassalamu’alaikum Wr Wb.
Saya memandang surat itu lama. Berkali-kali saya membacanya. Baru kali ini saya membaca surat lamaran yang begitu indah. Sederhana, jujur dan realistis. Tanpa janji-janji gombal dan kata yang berbunga-bunga. Surat cinta minimalis, saya menyebutnya.
Saya menatap sahabat disamping saya. Dia menatap saya dengan senyum tertahan.
“Kenapa kamu memilih dia”
“Karena dia manusia biasa” Dia menjawab mantap.
“Dia sadar bahwa dia manusia biasa. Dia masih punya Allah yang mengatur hidupnya. Yang aku tahu dia akan selalu berusaha tapi dia tidak menjanjikan apa-apa. Soalnya dia tidak tahu, apa yang akan terjadi pada kita dikemudian hari. Entah kenapa, Itu justru memberikan kenyamanan tersendiri buatku”
“Maksudnya?”
“Dunia ini fana. Apa yang kita punya hari ini belum tentu besok masih ada. Iya kan? Paling gak. Aku tau bahwa dia gak bakal frustasi kalau suatu saat nanti kita jadi gembel. Hahaha…” Sahutnya dengan tawa renyahnya
* * *
Satu lagi pelajaran pernikahan saya peroleh hari itu. Ketika manusia sadar dengan kemanusiannya. Sadar bahwa ada hal lain yang mengatur segala kehidupannya. Begitupun dengan sebuah pernikahan. Suratan jodoh sudah tergores sejak ruh ditiupkan dalam rahim. Tidak ada seorang pun yang tahu bagaimana dan berapa lama pernikahannya kelak. Lalu menjadikan proses menuju pernikahan bukanlah sebagai beban tapi sebuah proses usaha.
Betapa indah bila proses menuju pernikahan mengabaikan harta, tahta dan nama. Embel-embel predikat diri yang selama ini melekat ditanggalkan. Ketika segala yang melekat pada diri bukanlah dijadikan pertimbangan yang utama. Pernikahan hanya dilandasi karena Allah semata. Diniatkan untuk ibadah. Menyerahkan secara total pada Allah yang membuat skenarionya. Maka semua menjadi indah.
Hanya Allah yang mampu menggerakkan hati setiap umat-NYA.
Hanya Allah yang mampu memudahkan segala urusan.
Hanya Allah yang mampu menyegerakan sebuah pernikahan.
Kita hanya bisa memohon keridhoan Allah. Meminta-NYA mengucurkan barokah dalam sebuah pernikahan.
Hanya Allah jua yang akan menjaga ketenangan dan kemantapan untuk menikah.
Lalu, bagaimana dengan cinta? Ibu saya pernah bilang, Cinta itu proses. Proses dari ada, menjadi hadir, lalu tumbuh, kemudian merawatnya. Agar cinta itu bisa bersemi dengan indah menaungi dua insan dalam pernikahan yang suci. Cinta tumbuh karena suami/istri ( belahan jiwa).
Cinta paling halal dan suci. Cinta dua manusia biasa, yang berusaha menggabungkannya agar menjadi cinta yang luar biasa.
Amin.
Aku memang manusia biasa
Yang tak sempurna
Dan kadang salah
Namun dihatiku hanya satu
Cinta untukMU
Luar biasa
(Yovie and Nuno)
sumber :http://ashid92.wordpress.com/renungan-inspiratif

**Menikah Tanpa Pacaran**

**Menikah Tanpa Pacaran**
Apa mungkin?
Pertanyaan tersebut muncul ketika sepasang anak muda memutuskan untuk menikah tanpa pacaran terlebih dahulu. Segera ketika berita lamaran merebak di kalangan keluarga beberapa pihak bertanya-tanya kepada orangtua mereka.
Kapan kenalnya?
Di mana?
Bagaimana?
Koq bisa memutuskan menerima lamaran jika belum kenal?
Kenal adalah salah satu tahapan ukhuwah islamiyah, oleh karena itu tak heran jika orang banyak mempertanyakan keputusan menerima lamaran sebeum “kenal”. Pepatah mengatakan: tak kenal maka tak sayang.
Apakah sebelum menikah seseorang harus saling kenal? Jawabannya: ya, harus, meskipun seberapa “kenal”nya, dan apa yang perlu dikenal masih bisa didiskusikan. Jangankan dalam urusan jodoh, memilih teman-pun perlu mengenal lebih dahulu sebelum cukup percaya untuk pergi bersama.
Kecocokan harus ditimbang dengan kadar tertentu dan bahkan untuk aspek latar belakang sosial ekonomi dan pendidikan yang diistilahkan dengan se-kufu. Tapi yang paling penting diantara itu semua adalah masalah kesamaan pandangan hidup, aqidah dan akhlaq misalnya.
Sayangnya, dalam kebiasaan zaman sekarang yang namanya ajang saling kenal antara dua orang anak muda yang akan menikah adalah lewat hubungan palsu yang namanya pacaran. Mengapa palsu?
Sebab seringkali ketika berpacaran kedua insan tersebut tidak memperlihatkan sifat-sifat asli mereka, malah cenderung konformistis, serba setuju dengan apa kata pasangannya. Walhasil “perkenalan”nya menjadi tidak sebagaimana aslinya. Apalagi ketika diwarnai perasaan kasmaran atau jatuh cinta. Seseorang yang sedang kasmaran cenderung berubah dari kebiasaan aslinya. Seorang pendiam bisa tiba-tiba terlihat periang sedangkan seorang yang periang tampak malu-malu kucing.
Kenapa sih mesti pacaran?
Pacaran dalam istilah sekarang adalah: sebuah bentuk hubungan antara sepasang anak manusia lain jenis yang mempunyai ketertarikan hubungan sex.
Pacaran dengan aktivitas pergaulan fisik tanpa norma Islam (sejak pegang-pegangan tangan sampai seterusnya) bukan hanya tidak perlu, bahkan juga tidak boleh atau haram dalam Islam. Sebab Islam melarang zina dengan arti sejak zina hati (melamun, bermimpi dengan sengaja, melihat foto dll tanpa pertemuan fisik), zina mata (melihat langsung, berpandang-pandangan dll) sampai zina badan (sejak pegangan tangan sampai hubungan sex sebenarnya). Meskipun untuk setiap perbuatan tersebut jenis dosa-nya berbeda, tetapi tetap saja semua adalah dosa. Zina badan dalam arti sampai hubungan sex terjadi jelas merupakan dosa besar.
Di sinilah letaknya masalah pacaran.
Jika saling mengenal merupakan sesuatu yang penting, itu tidak berarti pacaran menjadi boleh. Bahkan pacaran dengan sejumlah bahaya dosa jelas merupakan perbuatan yang harus dihindari sebab mengandung ancaman dosa besar.
Lalu bagaimana cara saling mengenal yang diperbolehkan?
Zaman sebelum ada teknologi canggih, para pendahulu kita biasa mengirim utusan ke pihak calon mempelai. Pihak pria mengirim seorang wanita terpercaya untuk “melihat” si wanita yang akan dilamar dan sebaliknya pihak wanita juga mengirim pria terpercaya untuk menyelidiki pria yang akan melamarnya. Untuk batas tertentu keduanya dibenarkan untuk saling melihat fisik.
Jika ingin melihat lebih jauh, harus mengirim utusan seperti di atas (wanita melihat wanita dan pria melihat pria).
Itu baru sebatas melihat secara fisik.
Sebagaimana sudah dikatakan tadi, aspek fisik bukan hal terpenting untuk dikenal. Aqidah , akhlaq dan fikroh jauh lebih penting sebab itu semua adalah hal-hal yang bersifat lebih menetap dan lebih berpengaruh dalam sikap sehari-hari.
Untuk mengenal dan memahami isi pikiran, aqidah danakhlaq haruslah dengan cara peninjauan yang berbeda dengan mengenal hal-hal fisik. Untuk ini, selain mengenal langsung, juga lewat referensi.
Misalnya dengan mengirim utusan untuk menyelidiki isi pikiran tersebut, atau dengan cara bertanya secara langsung. Dapat dilihat di tulisan Benteng Terakhir sebelum ini yaitu yang berjudul: Fit and Proper Test.
Mengapakah Fit and Proper Test tentang isi pikiran, aqidahdan akhlaq jauh lebih penting daripada perkenalan fisik?
Jawabannya tergantung dari seberapa dalam seseorang yang ingin berkenalan tersebut memandang hidup ini. Jika ada seorang yang sehari-harinya punya ideologi: “emangnya gue pikirin”, yaitu ideologi cu-ek dan tak peduli makna hidup, dengan keseharian hanya memikirkandandan (bersolek), kongkow-kongkow (kumpul-kumpul tak bermakna dengan teman-teman) dan hura-hura (semua aktivitas yang berhubungan dengan kesenangan duniawi yang meriah), maka ketika ia ingin berteman dan mungkin juga ketika ingin menikah ia akan mencari teman atau pasangan hidup yang sejenis.
Namun jika ada seseorang yang dengan serius menganggap bahwa hidup ini adalah untuk beribadah, beramal manfaat dan menggapai akhirat, maka ia akan sangat peduli untuk berteman dan apalagi berpasangan hidup dengan yang sejenis.
Dan hal-hal seperti ini tak mungkin dikenal hanya dengan sekali lihat penampilan fisik. Penampilan fisik mungkin menipu. Seorang yang berkacamat tebal dan berfoto serius mungkin saja ternyata tukang banyol yang tak pernah berpikir panjang. Sementara mungkin saja seorang dengan pakaian tak ketinggalan gaul (tapi masih sopan) dan percakapan yang tak kuno ternyata lebih mampu lagi bicara panjang dan serius tentang makna hidup dan cita-cita akhirat.
Sebab seorang yang ingin menggapai akhirat tak mesti meninggalkan dunia sama sekali. Bahkan seorang yang beramal cerdas justru sanggup memanfaatkan hidup di dunia untuk optimalisasi pencapaian akhirat, dan itu dengan cara bergaul luas dan berdakwah luas.
Oleh karena itu, fit and proper test sebenarnya tetap berlaku pada setiap orang yang ingin memutuskan untuk menikah, (kecuali yang kawin kontrak untuk sekedar mendapat sepotong surat nikah guna kemudahan imigrasi). Pada dasarnya setiap orang ingin berdekatan dengan yang “sejenis”, se-aliran, se-pandangan. Apapun pandangan hidup yang dianutnya.
Bagi yang mementingkan urusan materi dan “kulit-kulit luar”, maka perkenalan fisik sangat penting, urusan isi pikiran cukup yang dangkal saja. Sebatas apa aliran musiknya, hardrock-kah atau slow machine? Sedangkan bagi yang berpikir mendalam maka isi pikiran dan cita-cita hiudp adalah lebih penting daripada fisik.
Kami sendiri berpandangan yang kedua.
Sebab menurut hemat kami, apa-apa yang sebatas kedalaman kulit dapat berganti dengan cepat, bahkan dengan mudah sirna. Cantik? Maaf ya, jika terlalu banyak ber-make-up maka pada usia 38an tahun sudah butuh face-lift. Jika salah make-up muka menghitam dan butuh jutaan rupiah untuk memperbaiki.
Apalagi jika (na’udzubillah) kecelakaan, rusaklah semua. Jika kaya raya adalah ukuran tera-nya, maka credit crunch tempo hari sudah terbukti ampuh memiskinkan sejumlah orang kaya. Yang benar-benar ulet akan bangkit setahun dua tahun lagi, tapi yang tak pandai akan tetap bangkrut. Namun apa yang dihargai dari budi pekerti dan sikap perilaku tak akan terpengaruh credit crunch maupun usia lanjut.
Sedangkan yang beraqidah salimah dan akhlaq karimahakan tetap mendampingi kita Insya Allah di SurgaNya.
Amin
======
sumber :http://ashid92.wordpress.com/renungan-inspiratif